Arsip Kategori: piqih agama

Menoleh ke belakang melangkah ke depan

​hari ini tanggal 31 Desember merupakan hari terakhir di tahun 2016. banyak pekerjaan yang telah kita lakukan,  banyak pekerjaan yang belum kita lakukan,  apakah masalah duniawi maupun ukhrowi. oleh sebab itu kita tidak lantas meninggalkan peristiwa di tahun 2016 tetapi harus tetap menoleh ke belakang dan siap menatap dan melangkah ke depan menyongsong kehidupan di tahun 2017. semua berharap di tahun depan akan lebih baik dan sukses

        ketika seorang anak Adam merasa takut dan khawatir membayangkan apa yang akan terjadi pada masa depannya kelak. Mengapa khawatir dan takut menatap masa depan? Hal ini bisa jadi disebabkan karena banyak dan beratnya beban kehidupan yang harus ia pikul. Selain itu, banyaknya permasalahan yang tak kunjung selesai; lepas satu masalah muncul puluhan bahkan ratusan masalah lainnya.
Namun bagi seorang Muslim, masa depan sebenarnya adalah akhirat. Masa depan adalah perkara ghaib dan hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Karena masa depan adalah perkara ghaib, maka tak pantas bagi seorang Muslim meramal apa yang akan terjadi pada masa depannya atau masa depan orang lain. Dalam Islam, meramal masa depan adalah perkara yang sangat tercela.
Allah SWT berfirman,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنزلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Luqman: 34).
Ayat di atas semakin mempertegas dan meyakinkan seorang Muslim bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan yang Maha Mengetahui tentang masa depan setiap hamba-Nya. Karena itu, selayaknya seorang Muslim tak perlu cemas dan takut dengan masa depan yang akan dilaluinya. Yang terpenting adalah bagaimana menyiasati masa depan itu dengan tetap menggantungkan rasa tawakal secara totalitas kepada Allah SWT.
Seorang Muslim, sangat dilarang memprediksi apa yang akan terjadi pada masa depannya sebab hal itu bisa menjatuhkannya pada kemusyrikan. Sebaliknya, menyiasati masa depan dengan menyiapkan segala bekal baik harta maupun kesiapan mental (ruhiyah) adalah sebuah keharusan. Seorang Muslim, harus menanti masa depan dengan usaha keras yang bermanfaat.
Allah SWT berfirman,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya, “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakanDan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah:105).
Sikap Muslim Menghadapi Masa Depan
Islam melalui lisan Rasulnya memberikan sebuah konsep dalam menghadapi masa depan. Hal ini tergambar jelas dalam sebuah sabda Rasulullah SAW berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : “الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah raberkata, Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan dalam keduanya ada kebaikan. Semangatlah untuk melakukan hal yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Dan ketika sesuatu menimpamu maka janganlah kamu katakan: “Seandainya dahulu aku melakukan hal yang ini maka akan terjadi seperti ini dan itu” tapi katakanlah: “Ini adalah takdir Allah dan apapun yang Dia kehendaki pasti akan terjadi” karena kata-kata “Seandainya (Lau)” akan membuka amalan setan.” (HR. Muslim 4186, Ibnu Majah 76).
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadis di atas, antara lain sebagai berikut.
Pertama, Tatap Masa Depan dengan Keimanan, Ketaqwaan dan Amal Shalih
Keimanan merupakan modal yang paling utama dalam menghadapi masa depan, karena Alloh telah berfirman:
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imron:139).
Dalam banyak ayat Allah SWT menginformasikan kepada setiap Muslim agar benar-benar beriman kepada Allah. Sebab dengan keimanan yang menghunjam kuat di dada, menjadi modal utama agar Allah SWT menghilangkan segala rasa sedih terhadap apa yang sudah terjadi dan rasa takut serta khawatir dengan masa depan.
Hal ini seperti yang Allah SWT sampaikan dalam firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. AlBaqarah:277).
Kedua, Iman, Ishlah dan Taqwa
Untuk menghadapi masa depan, jelas seorang Muslim harus senantiasa mengasah keimanannya, ishlah dan berusaha semaksimal mungkin meraih derajat takwa. Allah SWT berfirman,
وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya, “Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaika, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (Qs. Al-An’am:48).
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ * لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (Qs. Yunus:62-64).
Ketiga, Senantiasa Tetap Beriman dan Istiqomah
Allah SWT berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ * أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al-Ahqaf:13-14).
Dalam ayat di atas, Allah SWT memberitahukan kepada setiap Muslim, bahwa siapa di antara mereka yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” lalu mereka beristiqomah, maka mereka tidak akan khawatir terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang dan tidak akan bersedih terhadap apa yang telah terjadi di masa lalu. Bahkan Allah menjanjikan surga bagi mereka kelak di akhirat.
Keempat, Berusaha Terus Mengikuti Petunjuk Allah SWT
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. AlBaqarah:38).
Kelima, Ikhlash dan Mutaba’ah
Allah SWT berfirman,
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. AlBaqarah:112).
Keenam, Tatap Masa Depan dengan Usaha Keras
Seorang yang menginginkan masa depan yang baik, maka dia harus berusaha dan beramal. Kenyakinan bahwa masa depan adalah perkara yang ghaib tidak lantas menjadikan kita malas bekerja dan berpangku tangan, diam tanpa berusaha. Allah SWTberfirman,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakanDan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah:105).
Hal terpenting bagi seorang Muslim adalah bagaimana membuat perencanaan dan tujuan dalam hidup. Lalu, ajukan pertanyaan pada diri ini, “Apa tujuan hidup kita?” Seorang Muslim mesti mengetahui rencana jangak pendek, menengah dan panjang yang diinginkan dalam hidupnya. Bukan malah sebaliknya menyikapi keadaan dengan bersikap seperti air mengalir atau dengan kata, “Lihat saja nanti.”
Keyakinan bahwa Allah SWT telah mengatur masa depan manusia, bukan berarti manusia tidak mempersiapkan masa depannya dan menyusun langkah dalam menenpuhnya. Sebab hal ini tidak bertentangan dengan rasa tawakal kepada Allah SWT. Sabda Nabi SAW:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
Diriwayatkan dari Jabir ibnu Abdillah ra berkata, Rasulullah SAW- bersabda: “Wahai manusia bertakwalah kepada Allah dan bersikap baiklah dalam berusaha. Karena suatu jiwa takkan mati hingga rizkinya terpenuhi semuanya, walaupun rizqi itu datangnya lambat. Karena itu, bertaqwlah kepada Allah dan bersikap baiklah dalam mencari rizqi. Ambilah yang halal dan tinggalkanlah yang haram.” (HR. Ibnu Majah no. 2135).
‘Abdullah bin Umar –ra berkata, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu meninggal esok.”Seorang Ulama berkata: “Memperhatikan masa depan bukanlah lari dari kenyataan. Bukan juga melangkahi sunnatullah. Tapi dia adalah harapan yang dapat memotivasi untuk bekerja.”
Ketujuh, Selalu Berdo’a
Masa depan seseorang tidak ada yang tahu, hanya Allah-lah satu-satunya dzat yang Maha Mengetahui apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Semua yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari ilmu dan kuasa Allah, baik yang telah lalu, yang sekarang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi di masa depan, semua berada di dalam genggaman tangan-Nya. Karena itu, seorang Muslim harus senantiasa berdo’a dan memohon kepada Allah agar Dia menganugerahkan masa depan dan kesudahan yang baik (husnul khatimah).
Kedelapan, Semangat dan Pantang Menyerah
Kita bisa membentuk motivasi untuk diri dengan niat, berniatlah sungguh-sungguh untuk melawan rasa malas dari sendiri. Niat bisa menentukan sebuah kualitas diri. Niat besar sangat berpengaruh pada keberanian mengambil langkah berikutnya. Agar nilai dari niat berkualitas, perlu dilalukan aksi nyata.
Bahkan sering kali nilai dari produktifitas seorang Muslim bisa berkurang hanya karena niatnya yang salah. Bila niat salah, maka semua tindakan berjalan diluar yang sudah direncanakan. Jadi mulai saat ini juga, berniatlah yang baik dan penuh kesungguhan untuk menyiasati masa depan agar menjadi lebih baik.
Kesembilan, Optimis dan Realistis
Seorang Muslim harus mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya, sebab hal itu bisa menumbuhkan semangat percaya diri saat berinteraksi denga orang lain atua diberi amanah baru. Jangan pernah berkata “tidak bisa” atau “malas melakukannya”. Seorang Muslim harus selalu berpikir positif dan optimistis bahwa setiap tantangan yang datang pasti ada solusinya.
Boleh saja seorang Muslim merasa khawatir, terhadap masa depan, tapi bukan berarti harus pasrah dan berdiam diri terhadap itu semuanya. Bukankah kita masih memiliki banyak hal yang pantas untuk disyukuri, bukankah ada banyak kenikmatan yang kita terima, dan seharusnya membuat kita bisa berdiri dengan tegak kemudian berkata, Terima kasih Tuhan atas segala hal yang saya terima hari ini. (dikutif sebagian dari sahabat pengguna blog)

Apa bedanya menyampaikan surat Al-baqoroh ayat 183 dibulan sa’ban dan Ramadhan dengan Ayat Al-Maidah ayat 51 menjelang pilkada? 

Jawabannya sama saja,  hal itu sesuai hadist nabi قل الحق ولو كان مرا

para penceramah dalam dakwah pasti membawakan tema yang sesuai dengan momentum saat itu. Contoh jika ada penceramah pada acara pernikahan membaca dan membahas ayat Alqur’an tentang khitanan anak,  pasti akan di cibir oleh jama’ahnya. 

Renungkan….!

Adapun para penceramah membaca dan menjelaskan Almaidah ayat 51  menjelang pilkada itu sangat tepat kalau dalam ilmu balaghah disebut badi baroatu Al istihlal.

Maksudnya agar pemilih muslim tau bahwa ada pedoman Alquran tentang kriteria utama calon pemimpin yang harus dipilih,  akan tetapi sikap dan pilihan para pemilih muslim dikembalikan lagi kepada para pemilih,  karena konsekwensi memilih yang tidak berdasarkan Alqur’an akan kembali kepada pribadi masing masing.

bahkan ada ayat Alqur’an yang lebih tegas dan jelas surat An nisa ayat 144, yang artinya( wahai orang orang yang beriman,  janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali/pemimpin selain kaum mukmin) 

Hukum melafalkan niat

Melafalkan Niat dalam Shalat menurut 4 madzhab 

Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.

Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّاً
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim zuj 8 hal 216).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli mengatakan:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum sunnah adalah menyalahi syri’at Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.
[ 1461 ] قوله آت من ربي هو جبريل قوله فقال صل في هذا الوادي المبارك يعني وادي العقيق وهو بقرب البقيع بينه وبين المدينة أربعة أميال روى الزبير بن بكار في أخبار المدينة أن تبعا لما رجع من المدينة انحدر في مكان فقال هذا عقيق الأرض فسمي العقيق قوله وقل عمرة في حجة برفع عمرة للأكثر وبنصبها لأبي ذر على حكاية اللفظ أي قل جعلتها عمرة وهذا دال على أنه صلى الله عليه وسلم كان قارنا وسيأتي بيان ذلك بعد أبواب وأبعد من قال معناه عمرة مدرجة في حجة أي أن عمل العمرة يدخل في عمل الحج فيجزى لهما طواف واحد وقال من معناه أنه يعتمر في تلك السنة بعد فراغ حجه وهذا أبعد من الذي قبله لأنه صلى الله عليه وسلم لم يفعل ذلك نعم يحتمل أن يكون أمر أن يقول ذلك لأصحابه ليعلمهم مشروعية القرآن وهو كقوله دخلت العمرة في الحج قال الطبري واعترضه بن المنير في الحاشية فقال ليس نظيره لأن قوله دخلت إلخ تأسيس قاعدة وقوله عمرة في حجة بالتنكير يستدعي الوحدة وهو إشارة إلى الفعل الواقع من القرآن إذ ذاك قلت ويؤيده ما يأتي في كتاب الإعتصام بلفظ عمرة وحجة بواو العطف وسيأتي بيان ذلك بعد أبواب وفي الحديث فضل العقيق كفضل المدينة وفضل الصلاة فيه وفيه إستحباب نزول الحاج في منزلة قريبة من البلد ومبيتهم بها ليجتمع إليهم من تأخر عنهم ممن أراد مرافقتهم وليستدرك حاجته من نسيها مثلا فيرجع إليها من قريب قوله في حديث بن عمر
( kitab fathul bari zuj 4 hal 135 hadist ke 1461 )
Sabda Nabi , “Al-‘aqiq Adalah Lembah yang Diberkahi.”
. Umar r.a. berkata, “Saya mendengar Rasulullah di Wadil ‘Aqiq bersabda, ‘Tadi malam datang kepadaku utusan dari Tuhanku, ia berkata, ‘Shalat lah di lembah yang diberkahi ini, dan ucapkanlah, ‘Umrah dalam (dan dalam satu riwayat: dan 8/155) haji (Ihram umrah dan haji bersama-sama).'”
Imam ibnu hajar berpendapat bahwa usholi di qiyaskan dari pada hadist haji hal itu sependapat dengan imam qustalani.
Qiyas adalah menyamakan hukum dalam 2 masalah yang sama / setatus yang sama.